Tradisi Ngaraya Di Kuningan
Ada suatu tradisi yang sampai saat
ini masih berjalan di pedesaan, khususnya di Kabupaten Kuningan, yaitu tradisi
“ngaraya” atau Nganjang (bertamu) menjelang Lebaran. Menurut keterangan salah
seorang tokoh masyarakat Kuningan, tradisi Ngaraya ini sudah mengalami
perubahan, dalam hal mengirim hidangan berupa makanan dengan lauk pauknya.
Semula kiriman tersebut tidak menggunakan pemulang (jawaban menerima sajian)
biasanya berupa uang atau pakaian.
Bila dikirim hidangan, sekarang sudah menjadi kebiasaan untuk menyediakan
pemulang, dengan uang yang besarnya lebih dari harga kiriman yang disajikan.
Sehari sebelum berlebaran, pihak keluarga Mojang menyiapkan bermacam-macam
makanan/hidangan dengan lauk-pauknya, kemudian di kirimkan ke rumah si pemuda
untuk disantap saat berbuka puasa.
Dengan datangnya kiriman itu, Sang Jajaka tidak tinggal diam. Ia lalu membakar
petasan yang sudah disediakan sebelumnya, sebagai penghormatan. Bunyi
ledakan-ledakan petasan menandakan bahwa dirumahnya ada tunangannya yang
mengirim hidangan.
Maka ramailah di sekitar rumahnya. Anak-anak kecil ikut menyaksikan
petasan-petasan tersebut dinyalakan, seraya memberitahukan kepada tetangganya.
Sementara suara bedug di mesjid sejak menjelang sore hari sudah bertalu-talu.
Sedangkan Jajaka sudah bersiap-siap dengan pakaian barunya dan membawa sejumlah
uang untuk diberikan kepada tunangannya sebagai tanda ,”Mitrahan”.
Kegembiraan mereka benar-benar lengkap. Masing-masing membawa petasan untuk
dibakar. Kemudian menjelang Sholat Isya dilanjutkan dengan memukul bedug di
mesjid sebagai selingan.
Sang Jajaka bersama teman-temannya mengadakan takbiran di mesjid. Sementara
suara petasan berbunyi saling bersahutan dari rumah yang satu ke rumah yang
lain. Disamping itu diantaranya ada yang sedang menghormat calon menantu,
malahan kadang-kadang sampai pagi menjelang Subuh. Kemudian langsung
dilanjutkan pergi ke mesjid untuk Sholat Ied.
Biasanya setelah sholat Ied, para Jajaka hilir-mudik mendatangi rumah-rumah
keluarga dan kerabat-kerabatnya untuk saling minta maaf dan memohon do’a restu
bagi orang tua mereka. Setelah pertunangan mereka disetujui, hubungan mereka
semakin intim. Sang Jajaka dengan penuh PD semangat menggarap sawah orang
tuanya, kemudian memilih sepetak sawah khusus untuk tunangannya nanti kalau
sudah menikah.
Sementara itu Sang Jajaka menghubungi tukang bordir yang ahli dalam bidang
sulam-menyulam. Lalu memesan dua buah saputangan untuk tali tudung cetok
(tudung petani yang dianyam berlapis dua). Biasanya pada tudung tersebut
bersulam tulisan nama-nama mereka yang istilahnya disebut sebagai,”Ngadukuyan”.
Pengiriman tudung dengan saputangan bersulam itu merupakan surat undangan untuk
hari tandur (mulai menanam padi di sawah). Sehingga pihak Si Mojang membuat
persiapan pula untuk menyediakan makanan sebaik mungkin, terutama makanan yang
dibuat sendiri bersama ibunya.
Makanan itu dibawa oleh Si “Penglayar” (Perantara) kemudian Sang Mojang membawa
poci berisi air, khusus buat tunangan dan orang tuanya. Makanan tersebut dibawa
dalam sebuah ‘tetenong’ (tempat makanan yang dibuat dari anyaman bambu).
Sementara pada bagian lain, para petani yang ikut tandur menambah semarak
suasana acara pertunangan mereka. Walaupun masih malu-malu, mereka makan bersama
dengan pihak keluarga Sang Jajaka.
Bila garapan Si Mojang belum sempat selesai, maka para Mojang dari pihak
keluarga Sang Jajaka. Mereka turun ke sawah beramai-ramai membantu
menyelesaikan tandur.
Sementara itu menjelang panen raya, yang disebut,”Ngadukuyan,” ada tradisi
memberikan tudung. Akan tetapi mengalami sedikit perubahan dan peningkatan
bentuk maupun warna tudungnya.
Tudungnya berbentuk “leang-leang” bercat hijau bertalikan renda putih atau
mawar krem, dilengkapi dengan ketam yang bertangkai panjang dan berbatik
sungging, ditambah pula kain kebaya dari bahan paris yang tipis, selendang dan
“BH”.
Sebaliknya Si Mojang menyediakan kain kutung atau kampret hitam atau warna biru
dengan topi “piopinder” (topi anyaman buatan Tasikmalaya berwarna coklat tua,
pada daun topinya berkancing mata itik untuk menyimpan talinya).
Keesokan harinya Si Mojang mempersiapkan hidangan Istimewa, berupa makanan dan
lauk-pauk untuk makan bersama di sawah. Dengan pakaian hasil pemberian mereka,
Si Mojang pergi ke sawah menuai padi, sementara Si Jajaka menjelang siang hari
sibuk bekerja di sawahnya, mengikat padi secara “Pocongan”.
Mereka yang ikut menuai padi masing-masing memperoleh “Bawon”, yaitu sebagai
upah kerja dari mulai menanam sampai memetik hasil panen.
Sebagian lagi hasil panen itu dibawanya sebagai upah.
Sementara itu, Sang Jajaka sibuk dengan pekerjaannya mengangkut jajaran padi.
Kemudian baru sore harinya memikul padi hasil tunangannya dan langsung dikirim
ke rumah sang pacar menjelang Magrib.
Tradisi Ngaraya ini masih berkembang dan hidup di daerah pedesaan di Kabupaten
Kuningan. Namun ada sebagian penduduk desa yang memodernisir tradisi ini,
misalnya membakar petasan ditiadakan karena dilarang oleh pihak yang berwajib.
Sedangkan tradisi lainnya disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat ini.
Senin, 28 Mei 2018
Home »
Ilmu Budaya Dasar
» Mengenal Tradisi Ngaraya
Mengenal Tradisi Ngaraya
Categories: Ilmu Budaya Dasar







0 komentar:
Posting Komentar